JAPANESE COMIC BOOK "NEW YEAR SPESIAL NUMBER"
Fiber Face direncanakan sebagai serangkaian pameran yang secara khusus menyoroti seni serat Indonesia. Pameran-pameran ini bermaksud untuk memberi ruang bagi apresiasi seni serat kontemporer, namun di dalam Fiber Face sengaja disertakan pula sorotan yang memfokus kepada seni serat tradisional, dengan tujuan sebagai bentuk penghormatan kepada warisan budaya. Ini dilakukan dengan harapan bahwa sorotan ini bisa menjadi sebentuk sosialisasi dalam masyarakat terhadap nilai warisan budaya. Seni serat Indonesia mewarisi budaya estetis yang kaya, majemuk serta sudah hidup sejak ribuan tahun silam dan hingga kini masih terus hidup di penjuru alam pedesaan negeri ini. Namun sayangnya, aktivitas kreatif ini sering tidak dianggap sebagai Kesenian (dengan “K” besar), sehingga tradisi seni serat lokal, secara turun temurun sering tersimpan di balik khasanah budaya agraris. Sementara itu perkembangan senirupa kontemporer yang pesat justru lebih terfokus pada wacana-wacana dari luar Indonesia. Hal ini mengakibatkan kesenjangan hubungan antara senirupa kontemporer dengan kearifian lokal, akar budaya setempat. Apa yang berpotensi terjalin dinamis, menjadi timpang. Semestinya kedua dunia ini hidup berdampingan di mana masing-masing secara dinamis dapat saling memperkaya, saling membagi dan tukar ilmu. Untuk membangun hubungan interaksi dua arah seperti itu, diperlukan dialog dan kolaborasi yang dapat berlangsung mulai tingkat pengetahuan bahan, tehnik penanganan, fungsi dalam budaya hingga proses kreatif. Fiber Face dimulai tahun 2007 dengan sebuah pameran kecil Fiber Face Yogya, di galeri Babaran Segaragunung, dengan menggelar karya 10 seniman serat Yogyakarta. Fiber Face diharapkan bisa mengawali satu rangkaian pameran untuk menampilkan seni serat di Indonesia. Berikutnya adalah Fiber Face “Cross Cultural Collaborations of Indonesia” (2008), yaitu pameran keliling yang menampilkan karya kolaborasi Agus Ismoyo dan Nia Fliam dengan berbagai komunitas adat di berbagai negara. Pameran dan karya kolaborasi sudah dilakukan Agus Ismoyo dan Nia Fliam selama bertahun-tahun di Sanggar mereka, studio Brahma Tirta Sari. Pameran selanjutnya, Fiber Face 2 ‘Evolusi’, digelar di Taman Budaya, sebuah galeri publik utama di Yogya pada tahun 2009. Pameran ini menampilkan karya 43 seniman serat dari berbagai wilayah Indonesia, Amerika Serikat, Jerman, Mali Afrika, dan Australia.

Sejak awal, pameran Fiber Face bertujuan menciptakan kemungkinan terjalinnya hubungan interaktif dengan seni serat tradisional. Dengan meletakkan seni serat lokal pada konteks yang integral bisa menyorot kepentingan ketrampilan/kerajinan tangan dalam kancah kesenian masakini. Explorasi dimensi proses semacam ini akan menawarkan sumber inspirasi yang kaya dengan visi artistik, sampai pada endapan kearifan lokal, yang tentu akan memperkaya perkembangan seni kontemporer Indonesia lebih lanjut. Seni serat tradisional memiliki multidimensi dalam hal teknik, fungsi, symbol dan proses. Dengan mempertunjukkan aspek seni serat domestik Indonesia pada komunitas yang luas, kita sekaligus menempatkannya sebagai bagian penting dalam perbendaharaan seni serat dunia. Hal seperti ini tentu juga akan merangsang penciptaan seni serat mutakhir untuk mau memalingkan muka kembali pada akar budayanya, dan kekhasan seni serat Indonesia sendiri sebagai sumber inspirasi dan pertumbuhan. *** Sebagai bagian dari pameran berkala Fiber Face, yang diadakan sekali dalam dua tahun, Fiber Face 3 memilih tema “Transformasi”, guna mempertajam penjelajahan tema Fiber Face 2 sebelumnya, yakni “Evolusi”. Tema “Evolusi” kala itu dipilih dengan maksud membebaskan pemahaman media serat dari paradigma seni post-moderen dan menyoroti seni serat dalam kontek budaya yang lebih integral. Selain itu, tema “Evolusi” juga ditujukan untuk membebaskan pemahaman media serat dari definisi seni pasca-modern, yang menyekat fenomena media serat senirupa Barat pada tahun 70-an, sebagai sempalan ‘revolusi’ dari bentuk seni sebelumnya. Segala representasi media serat sebelum periode itu, tak layak disebut ‘seni serat’; alias ‘seni kriya’ atau ‘seni tradisional’. Tema Fiber Face 2 mencairkan kaidah itu, dengan memajang sejajar karya tekstil tradisional dengan karya kontemporer akademis, dalam bingkai evolusi yang berkesinambungan. Selanjutnya Fiber Face 3, kali ini hendak menukik pada momentum “transformasi” era globalisasi, di mana seni serat menghadapi arus pasang interaksi multi-kultural antar bangsa yang luarbiasa kencang, dan tak terelakkan.

60 seniman, memamerkan karyanya setelah melalui tahap seleksi, dengan perbandingan: 21 orang perupa luar negeri dari Australia, Germany, Austria, Belgium, the United States dan Jepang, 39 orang perupa kontemporer Indonesia dan Penenun “ulos” dari tradisi seni serat lokal Sumatera.

Lewat presentasi ragam karya dan variasi teknik mereka, ditambah deskripsi dalam display yang informatif, wawancara, serta rangkaian dokumentasi lokakarya masalah teknik, Fiber Face 3 menampilkan gambaran aktual “transformasi” seni serat dalam kaitan dengan materi dan teknologi saat ini.

Menarik pula dilihat, betapa mereka mengolah dampak teknis, fungsi, proses kreatif, faktor ekonomi dan batas-batas paradigmatik antara ‘seni’ dan ‘kriya’ yang kian muskil. Betapa mereka survive, baik dari basis tradisi rural maupun kontemporer urban, menghadapi tantangan “transformasi” yang kadang dilematis, antara godaan trend global masa kini dan pukauan aura lokal peninggalan kuno, di bawah perobahan iklim penciptaan akibat –lagi-lagi–pergumulan keaneka-ragaman budaya yang begitu masif, intensif dan kompleks. *** Di Jerman sungguh-sungguh ada hutan pohon oak yang sangat lebat. Yang sangat bikin kaget, setelah di gali ternyata hutan lebat itu adalah gagang-gagang dari pohon-pohon induk yang selama berabad-abad sudah tertutup tanah. Hutan aslinya ada di bawah hutan yang dinikmati di masakini. Analog dengan hutan ini, dinding Candi Prambanan (abad 9 AD) diperindah dengan relung-relung yang berisi relief ”Kalpataru” atau pohon hayati, yaitu lambang budaya yang berdiri tegak dengan batang, ranting dan daun terus tumbuh menggapai langgit yang luas. Sementara akar-akar turun menembus lapisan-lapisan bumi mencari sumber air (ilmu) yang berwujud tradisi warisan budaya leluhur. Semakin dalam akar pohon budaya ini menghunjam bumi maka semakin tinggi pula batang pohon akan tumbuh dan daun-daun semakin leluasa menggapai langit menyambut sinar matahari. Kita meletakkan diri dalam pohon hayati ini sebagai sesuatu pertumbuhan bersama-sama. Kita pun bebas untuk tumbuh karena segala yang telah tumbuh dan yang akan tumbuh dalam kebersamaan Rantai ini, adalah DNA budaya bumi kita yang sangat dashyat.

Rumah Budaya Babaran Segaragunung Yogyakarta, 1 Februari 2011


Share this post


Comments (2)

  • sujadi August 20, 2015 Reply

    sy menunggu acara fiber face 4, kok tidak muncul ya….???
    kami dari prodi kriya tekstil UNS Solo menunggu-nunggu lho…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *