Rabu, 01 Juli 2009 | 18:22 WIB TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Cat Crotchett, 45 tahun, seorang professor pada Western Michigan University, Amerika Serikat menggelar pameran lukisan bertajuk “Little Mysteries II” di Rumah Budaya Babaran Segaragunung, Banguntapan, Bantul, 1-7 Juli 2009. Sekilas, karya-karya Cat Crotchett seperti lukisan pastel. Tapi, siapa sangka Cat Crotchett mengadopsi teknik melukis kuno zaman Yunani dan Romawi pada era sebelum masehi. Melalui 16 karya yang dipamerkan di Rumah Budaya Babaran Segaragunung ini, Cat Crotchett seperti sedang menghidupkan kembali mumi yang hidup ribuan tahun lalu melalui teknik lukisan yang disebut sebagai Encaustic. Teknik ini digunakan untuk melukis lambung kapal ataupun melukis wajah mayat yang diawetkan pada zaman Yunani dan Romawi. Menurut Cat Crotchett saat ditemui di Rumah Budaya Babaran Segaragunung, Rabu (1/7), orang-orang Yunani biasa menggunakan lilin atau malam sebagai pelapis sambungan antarkayu pada badan kapal atau melapis permukaan kayu pada kapal. Pada perkembangannya, mereka kemudian menambahkan pewarna sehingga membuat badan kapal menjadi warna-warni. Teknik inilah yang kemudian disebut dengan Encaustic. Dengan teknik yang sama, orang-orang Romawi melukis wajah seseorang yang meninggal dan kemudian diawetkan menjadi mumi. Namun, melukis dengan teknik Encaustic ini kemudian ditinggalkan menyusul ditemukannya tempera (teknik melukis dengan pigmen warna yang dicampur telur dan air), fresco (mural) dan akhirnya cat minyak. Teknik melukis Encaustic muncul dan berkembang lagi pada kurun 15 tahun belakangan ini. Salah satu pelakunya adalah Cat Crotchett. Profesor di Western Michigan University dan The Frostic School of Art ini tertarik berpameran di Indonesia karena teknik Encaustic memiliki kesamaan dengan teknik membatik yang sudah dikenal lama di Indonesia. Tidak hanya pameran, Cat juga menggelar workshop Encaustic yang diikuti dosen, mahasiswa serta para perajin batik di Yogyakarta, 23-29 Juni lalu. “Encaustic dan batik sama-sama menggunakan malam sebagai bahan untuk memunculkan warna. Hanya mediun dan tekniknya yang berbeda,” jelasnya. Pada batik, malam digunakan untuk menutup bagian-bagian yang tidak ingin diwarnai. Sementara pada teknik Encaustik, malam (lilin/wax) justru menjadi bagian untuk memunculkan warna. Jika batik menggunakan medium kain, Encaustic menggunakan medium kayu. “Biasanya digunakan kayu pinus, namun bisa juga digunakan payu lain asal pori-porinya cukup besar agar lilinnya bisa melekat kuat,” jelas Cat Crotchett. Pada batik, malam/lilin akan dilepas melalui proses perebusan sebelum diperoleh hasil akhir yang diinginkan. Sedangkan pada Encaustic, diperlukan pemanasan dengan semburan nyala api ataupun palet yang dibakar untuk memperoleh gradasi warna yang diinginkan. “Butuh waktu sekitar enam bulan agar lilinnya benar-benar kering. Kalau sudah kering sempurna, kita bisa bebas meraba permukaan lukisan. Berbeda dengan lukisan dengan cat minyak yang tidak boleh diraba karena bisa merusak warna karena ada unsur minyaknya,” jelasnya. Sekilas, karya-karya Cat Crotchett yang dipajang di ruang pamer seperti ‘tidak nyambung’ antara judul dan visualnya. Pada dua karya berjudul “Adam” dan “Eve”, misalnya, Cat Crotchett menghadirkan setangkai daun berwana hijau dengan latar kuning. Ia juga menambahkan latar belakang motif-motif dekoratif, mirip lukisan dekoratif suku Dayak di Indonesia. Setangkai daun itu ternyata diambil dari lukisan-lukisan di zaman Renaisance. Pada zaman itu, setangkai daun selalu digunakan untuk menutup kemaluan gambar lelaki atau perempuan. “Daun itulah yang saya ambil karena saya hanya ingin menampilkan detilnya. Sedangkan motif dekoratif pada latar belakang menggambarkan alat-alat reproduksi pria dan wanita,” jelasnya. Proses yang sama juga diterapkan Cat Crotchett pada seri lukisan berjudul “The Tree Grace” yang terdiri atas tiga panel. Cat Crotchett menampilkan dua buah tangan yang saling berpegangan, hasil cropping lukisan zaman renaissance. Cat Crotchett kemudian menambahkan latar belakang pada tiga panel lukisannya itu, masing-masing motif macan tutul, zebra dan ular. Untuk pameran ini, Cat Crotchett membawa 16 lukisan yang diproduksi mulai tahun 2004 hingga 2008. “Saya tidak bisa membawa karya-karya terbaru karena butuh waktu sekitar enam bulan agar lilinnya benar-benar kering sempurna. Kalau belum kering sempurna, bisa rusak ketika dibawa ke sini,” jelasnya. HERU CN Sumber, Tempo Interaktif

Share this post


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *