EARTH ERUPTIONS, 2010, silk organza net, shibori resist, manipulation technique, 110 cm x 25 cm x 6 cm Philomena Hali, Australia
Pameran Fiber Face 3 ini mengeksplorasi jagad masa kini seni tekstil, di Indonesia maupun luar Indonesia. Fiber Face 3 menelisik dinamika seni serat kontemporer dan berusaha meletakkan praktik seni serat hari ini dalam bingkai pusaka tekstil Asia dan dunia seluasnya. Tema ‘transformasi’ menjadi landasan Fiber Face 3 ini, selagi seni serat memperlihatkan proses perubahan, dinamika, dan invensi di dunia kita yang berubah dengan kecepatan tinggi. Struktur kuratorial Fiber Face 3 mengajak pengunjung pameran menjalin kontak yang penuh makna, dan dari berbagai perspektif, dengan karya seni yang digelar. Titik tolak yang mudah dan jelas dalam meninjau seni serat adalah proses transformatif dalam memadukan berbagai bahan dan teknik. Apa sebenarnya ‘serat’ itu sendiri, dapat menjadi konsep yang menantang. Wawasan konvensional mengatakan, serat ialah jaringan nabati atau organik. Bambu, rotan, daun, filamen, rambut maupun tali jalin (cord) sama-sama membutuhkan proses pembelahan, pemintalan atau penggulungan untuk mengokohkan dan memperkuat suatu bahan alami tertentu agar dapat sungguh-sungguh menjadi serat yang lentur. Serat-serat ini kemudian ditransformasikan menjadi karya seni dwimatra atau trimatra lewat penerapan teknik pembuatan atau konstruksi tertentu. Jadi, bagaimana halnya dengan patung yang dianyam dari bilah-bilah logam tipis, kebaya yang terbuat dari lembar aluminium (aluminium foil), dan ‘utas’ bubur sutera dan pita magnetik kaset audio yang ditenun atau dianyam menjadi pakaian? Meskipun bahan-bahan tersebut tidak sesuai dengan pengertian konvensional tentang serat, teknik pembuatan dengan menjalin, menenun, menganyam dan merajut menghendaki bahan-bahan non-serat ini menjalankan fungsi-fungsi ke-serat-an seperti kelenturan, kesaling-jalinan, dan kontinuitas. Demikianlah, di sini teknik menjadi agen transformasi bahan, sehingga tampaklah bahwa ‘seni serat’ di zaman modern ditentukan dan dihasilkan oleh kepiawaian teknis dan kecemerlangan daya cipta imajinatif seniman dalam menafsir ulang perjumpaan interaktif antara bahan dan teknik pembuatan. Karya-karya yang digelar dalam Fiber Face 3 ini juga mewakili keragaman teknik pembuatan dan desain permukaan yang digunakan akhir-akhir ini, yang mencakup sulam tangan dan mesin, aplikasi, sulam-kait-renda, tenun dengan alat, penggandengan, tenun dengan hiasan tambahan pada benang pakan maupun teknik-teknik pewarnaan celup rintang seperti shibori, ikat dan batik. Yang mengejutkan, untuk pameran yang dipergelarkan di Jawa bagian tengah ini, hanya ada tiga karya Indonesia yang menampilkan batik tulis dan batik cap. Selain pola padat motif batik Jawa tradisional, kedua karya itu menggunakan pula teknik aplikasi jahit tangan (hand-stitched reverse appliqué) dan teknik batik tulis. Karya-karya para seniman Eropa yang disajikan dalam Fiber Face 3  inilah yang justru mengilustrasikan transformasi berkelanjutan dalam teknik batik tulis Jawa sejak perjumpaan awalnya dengan seniman-seniman Belanda pada 1882. Sejak itu, batik sangat mengemuka dalam gerakan European Art Nouveau dan Art Deco, yaitu antara 1892 – 1930 (Wronska-Friend, 2000; h. 109). Karya-karya lukis batik yang canggih dari para seniman Eropa yang digelar dalam Fiber Face 3 ini mengilustrasikan evolusi yang terus berlangsung dalam lukis batik pada dekade-dekade mutakhir dengan terciptanya karya-karya yang sangat naturalistik berdampingan dengan karya-karya artikulatif, impresionistis maupun abstrak. Karya-karya lain yang dipamerkan dalam Fiber Face 3 ini mendokumentasikan betapa teknik dapat mentransformasikan asosiasi kultural. Slamet Riyadi dan Farida secara efektif telah menggunakan teknik sulam tangan Eropa, mungkin Belanda, untuk menggambarkan wajah-wajah Pawayangan Jawa dalam karya mereka Simbolisme face. Karya tenun Nicky Schonkala yang bertajuk weavolution, mencakup penggunaan struktur tenun dekoratif Eropa untuk menyajikan pemandangan alam Australia tengah dengan tumbuhan polong, Spinifex dan padang-padang rumputnya. weavolution juga menggunakan referensi strip-weaving Afrika, suatu teknik yang mengemuka pada kain yang ditenun dan dijahit secara tradisional oleh kaum pria Kente. Pelbagai karya yang ditampilkan dalam Fiber Face 3 ini mengeksplorasi penggunaan serat sebagai sarana untuk mempertanyakan dan mentransformasikan identitas personal dan sosial. IPO Synthetic menggunakan serat yang sangat intim yaitu rambut manusia dalam Pre and Post Labyrinth untuk menjejer-kontraskan antarhubungan kesejahteraan personal kita dan masyarakat luas tempat kita hidup. Karya-karya yang secara main-main, namun tajam, mengomentari budi pekerti sosial mencakup The witness 4 oleh Eko Nugroho, dan instalasi oleh Lampu Kuning yang bertajuk Chaotical bottom. Motif Eko ‘saksi mata’ – mata yang menyaksikan – melambangkan pengalaman generasinya melihat dan mengamati perubahan politik, sosial dan teknologi lokal maupun global setelah Orde Baru (1965-1998), sementara mereka saksikan baru ada sejumput kemajuan nyata dalam kehidupan sehari-hari di komunitas mereka masing-masing. Eko Nugroho berkata bahwa saban hari dia melangkah keluar dari rumahnya dan tidak melihat perubahan apapun. Kehidupan terasa sangat berat bagi kebanyakan orang di Indonesia (komunikasi pribadi dengan Eko Nugroho, 2007). Instalasi karya Lampu Kuning, dengan memapar ‘keterkatung-katungan’ dan karya yang sedang dalam pengerjaan, menyiratkan bahwa mempertunjukkan segi tersembunyi dari suatu situasi kadang-kadang baik juga (meski tampak agak acak-acakan!), daripada mencoba menepati konvensi-konvensi sosial dan versi realitas yang diidealisasikan. Perspektif lain yang dieksplorasi dalam Fiber Face 3 adalah kemampuan serat untuk sekaligus berpijak pada dan menginfiltrasi berbagai genre. Memang bermanfaat dan mencerahkan menatap seni serat kontemporer melalui prisma ‘kategori dan label’ dalam menyatakan daya adaptasi dan relevansi seni serat. Namun tinjauan demikian tidak dimaksud untuk mempertegar kategori-kategori tersebut melainkan untuk menerang-jelaskan kehadiran dan transendensi ‘serat sebagai seni’ di dunia konseptual, dekoratif dan seni murni, maupun dalam ranah kriya dan busana. Dari perspektif etno-kultural, serat dan kain juga dapat dikategorisasikan sebagai saluran atau wadah energi, potensi atau ‘keliyanan’, yang merujuk keterkaitan serat dengan busana ritual, perlindungan, kuasa dan status sosial. Kain juga dapat menjadi benda biografis yang memuat kenangan dan pengalaman mendalam. Karya Aprina Murwanti In Memoriam Loved secara eksplisit mengeksplorasi peran kain lurik Jawa sebagai penanda kultural dan catatan pengingat tentang transisi personal senimannya menjadi ibu. Situs lain yang semakin diisi oleh seni serat kontemporer adalah sebagai wahana pertukaran antarbudaya. Karya-karya dari Adrienne Kneebone, Noreen Ashley, Patsy Forbes, Rita Cameron, Sarah Bidngal Ashley dan Lucy Cameron, para anggota Pandanus Project, meneguhkan fakta bahwa menenun, menyulam dan memproses dapat menjadi kegiatan yang bisa sama kolaboratifnya atau soliternya, dan mengandung suatu metodologi universal yang menembus bahasa dan perbedaan budaya. Pandanus Project memperluas parameter pembuatan keranjang dan aneka barang, yang dianyam oleh perempuan suku asli Australia dari daun pandan (Pandanus spiralis L.), dengan mengeksplorasi bentuk-bentuk anyaman baru melalui kolaborasi lintas budaya. Atau, kemungkinan lainnya, para penenun Australia yang bukan pribumi, memetik hikmah dari mempelajari cara suku pribumi menenun dan mewarna yang semakin banyak mereka gunakan untuk memperkaya praktik seni dan kriya kontemporer mereka. Upaya-upaya kreatif semacam itu, yang menghasilkan bentuk-bentuk kontemporer dan visi konseptual lewat pemanfaatan teknik-teknik tradisional, makin menegaskan bahwa tidaklah relevan mendefinisikan produksi serat sebagai tradisional atau kontemporer. Maka sudah tepat jika Fiber Face 3 ini mengetengahkan sekumpulan tekstil Batak (ulos) kontemporer. ‘Sorotan khusus’ ini menekankan antarhubungan praktik serat adat dengan praktik seni serat kontemporer. Potensi untuk mengkaji pengetahuan dan ketrampilan yang masih berada di genggaman para empu tenun, empu warna, dan empu pintal amat sangat melimpah di Indonesia. Mengapakah para mahasiswa dan seniman serat di kota-kota besar langka mencari dan merunut jejak untuk menemukan warisan pengetahuan, ketrampilan dan teknik ini untuk dijadikan pangkal tolak menuju tataran teknik dan estetika baru? Ditampilkannya ulos Batak dalam pameran Fiber Face 3 yang diperluas ini mengacu pada suatu sumber daya anggun yang dapat mengilhami praktik seni posmodern. Sejak lama dunia telah berpaling dan menatap Indonesia sebagai tempat semayam pusaka tekstil yang paling luar biasa di dunia. Sebelum pengetahuan yang masih tinggal di kalangan mereka yang banyak bermukim di lingkungan pedesaan dan jauh terpencil ini raib seluruhnya, maukah para seniman serat Indonesia yang baru muncul mencari titik-titik kolaborasi dan pertukaran demi revitalisasi gerakan seni serat di Indonesia dan luar Indonesia? Proses demikian juga mengakomodasi pertautan mesra kembali dengan lingkungan, yang merupakan kebutuhan kritis di seluruh dunia. Ketersandaran kita pada lingkungan, dan persinggungan interaktif antara seni serat dan lingkungan alami merupakan butir esensial dalam Fiber Face 3 ini. Karya Tofan A Widianto Save the earth menyajikan imbauan penting dan mendesak untuk menghormati lingkungan kita, sedangkan karya-karya lain mengacu pada kecenderungan konsumeris kita dengan mendaur ulang bahan-bahan buangan dan bekas pakai. Banyak di antara karya yang dipajang dalam pameran Fiber Face 3 ini menampilkan serat-serat alami; sedangkan akar, daun, kulit kayu dan biji telah diubah menjadi warna dan rona. Bumi tempat kita semua hidup ini mengilhamkan bentuk dan isi; peralihan musim, datangnya hujan, kerontangnya gurun dan dahsyatnya letusan, suatu fenomen mutakhir yang berdampak atas kehidupan beribu orang di kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta. Selagi menatap dan menikmati Fiber Face 3, baik kiranya kita merenungkan seni serat kontemporer sebagai bagian dari suatu kontinum historis. Di sinilah, pada karya-karya seni yang dipamerkan ini, utas-utas hubungan kekal antara seniman dan prosesnya, persinggungan dan saling pengaruh antara bahan dan teknik, serta interaksi antara seniman dan lingkungan sosial serta fisikalnya, terlihat dan terasa. Joanna Barrkman 10 Januari 2011 Curator, Southeast Asian Art and Material Culture, Museum and Art Gallery of the Northern Territory ACUAN Wronska-Friend, M. 2000. ‘Parang Rusak design in European art’ dalam Building on batik, Hitchcock M. dan Nuryanti W (penyunting), Ashgate, Aldershot. Wawancara Eko Nugroho dengan penulis, 19 November, 2007, Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta.

Share this post


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *