Kelompok Kriya Sastra, peserta outdoor installation: Bagus Prabowo, Virissa Septavy Syamshadiya, Bagus Dwi Danto, foto Kriya Sastra
Bagi sebagian orang yang tinggal di daerah perkotaan metropolis dan urban, hal-hal yang bersifat budaya dan tradisi mungkin cenderung terlewat begitu saja. Padahal Indonesia merupakan tempat di mana semua hal ‘dirayakan’ dengan sarat makna dan nilai-nilai kearifan. ‘Perayaan-perayaan’ tersebut memunculkan kebutuhan akan benda-benda untuk mendukung proses ritualnya, maka diciptakanlah benda-benda fungsional, salah satunya karya tekstil. Tentunya untuk sesuatu yang sarat makna, alat pendukungnya tidak akan sembarangan dan dapat dipastikan berkualitas baik. Dianugrahi kondisi alam yang subur, tanah kita menyediakan berbagai material dengan mudah dan baik untuk mendukung terciptanya karya-karya yang berkualitas. Terlihat ketika kulit kayu dapat diolah menjadi lembaran kain yang eksotis, bunga kapuk dapat dipintal menjadi helaian benang yang kuat, pewarna-pewarna alam tersedia dengan warna-warna kuat yang sangat beragam. Kekayaan alam dan kebutuhan akan benda (karya) berkualitas baik seperti inilah yang menjadikan masyarakatnya terampil dan memiliki kepekaan seni tekstil yang tinggi. Seiring dengan perkembangan jaman, terjadilah proses-proses pertukaran informasi, pergeseran makna, pengaruh kolonialisme, perkembangan seni rupa (barat), dan perdagangan, sehingga menjadikan karya-karya tersebut beralih fungsi menjadi ‘benda’ yang diperdagangkan. Sebutlah diantaranya kain batik, tenun, ulos, dan lurik yang lebih sering disebut sebagai benda kriya/kerajinan. Proses pelipatgandaan karya-karya ini telah memunculkan pandangan-pandangan skeptis dan penuh kontradiksi dalam memperdebatkannya sebagai bentuk karya ‘seni’ atau ‘kerajinan’. Lupa memandang nilai-nilai historis yang ada di dalam bangsa sendiri, kita sering terpengaruh oleh ajaran-ajaran seni rupa barat yang terlanjur merasuk dalam kehidupan kita, mulai dari sistem kemasyarakatan hingga sistem pendidikan. Craftmanship yang menekankan proses kreatif dan pengolahan karya secara teliti dan penuh perhatian sebagai karya seni serat malah mendapat efek buruk dan dicap sebagai benda kerajinan. Sebelum berinteraksi langsung dengan para tokoh dan seniman-seniman yang terus memperjuangkan suara kebudayaan dan tradisi, penulis menganggap bahwa hal-hal yang bersifat budaya dan tradisi merupakan hal terpisah dari sesuatu hal yang kontemporer. Anggapan penulis bahwa para tokoh ini menolak ‘kebaruan’ ternyata salah. Esensi yang diperjuangkan sekarang adalah semangat untuk hidup selaras, seraya terus bertransformasi, dengan tradisi dan budaya asal seniman sebagai penopang/dasar berkarya selanjutnya, karena karya tradisi dipercaya sebagai dasar refleksi diri akan identitas budaya yang tidak bisa dipisahkan. Dalam ruang seni seperti inilah pendekatan filosofis atas kebudayaan menemukan ruangnya. Being and Beyond Berangkat dari hal-hal yang berhubungan dengan tradisi dan budaya, wujud karya seni serat cenderung bersifat aplikatif dan fungsional. Kecenderungan seperti itu merupakan ‘warisan’ sisa-sisa sikap hidup pada masa tradisional yang belum beranjak. Menjaga nilai-nilai tradisi merupakan hal positif, namun bila dilakukan terus menerus tanpa adanya pengembangan dan pemahaman baru, apalagi tidak ada gairah dalam mengerjakannya, hanya akan menghasilkan karya yang kurang bermakna. Karya-karya seperti itu dipastikan menjadi karya yang berjalan di tempat, ‘Being’. Ketika seniman berhasil bertransformasi, kecenderungan berkarya pun menjadi melebar dan mencair ke wujud-wujud karya seni kontemporer, maka muncullah karya-karya seni serat kontemporer yang melampaui jenis karya sebelumnya, ‘Beyond’. Pada Fiber Face3, Beyond factors-nya terwujud dari seniman-seniman yang mengapresiasi dan mengadaptasi ulang budaya lokal Indonesia hingga karyanya bertransformasi maksimal, salah satunya yang dilakukan oleh Nia-Ismoyo dalam karya batiknya. Selain itu, ada pula yang mencomot dan ‘mengawinkan’ beberapa tanda budaya guna menghasilkan bentuk karya hibrida kebudayaan, seperti karya Transporter & Transformer oleh Tiarma Siarit. Aprina Murwanti dengan karyanya In Memorium Love menghadirkan ‘kekuatan yang lain’ dalam kain tradisional, lebih dari sekedar perwujudan kain semata, dan berhasil mempresentasikannya secara atraktif. Karya BOOM !!! (And I’m Keep On Asking You) oleh Aulia Yeru yang mengangkat teknik konvensional tekstil namun dengan pendekatan modern yang serba paradoksal sukses menggelitik penikmat karyanya. Sebaliknya, ada pula karya-karya yang dihasilkan dengan mengadaptasi teknik tradisional dari suatu budaya, kemudian teknik tersebut dihadirkan kembali dengan wujud yang sama sekali baru dan tidak disangka-sangka. Seniman-seniman yang tergabung dalam The “Pandanus Project” melakukan pendekatan dengan teknik anyam tradisional Aborigin guna menghasilkan bentuk karya kontemporer. Teknik shibori/tie-dye, dimanfaatkan oleh Yasuko Iyanaga yang juga merupakan asal teknik tersebut. Menariknya, teknik ini digunakan pula oleh Philomena Hali yang berasal dari Australia. Para seniman batik Eropa dan Amerika juga berhasil menghasilkan visual baru dalam menerapkan teknik batik dari Indonesia sebagai medium yang mewakilinya untuk berkarya, sehingga karya dengan teknik batik sontak tampil mengejutkan mata dengan visual-visual geometris, naturalis, ataupun gaya abstrak. Karya-karya seni serat kontemporer dalam ruang pamer Taman Budaya Yogyakarta pada Fiber Face 3 ini menunjukkan gairah dan hasrat para senimannya yang berhasil keluar dari kebiasaan umumnya namun tetap mencerminkan nilai-nilai budaya. Namun pertanyaannya, akan sejauh mana pergerakannya? Apakah seni serat akan berhenti sampai sini? Atau hanya akan bergerak ajek dalam dunia seni? Tertantang? Seorang seniman berkarya seni serat ketika ia memilih untuk menggunakan serat sebagai medium untuk karyanya. Pemaknaan yang sederhana, meski pada prakteknya akan timbul dilema ketika pemaknaan dan batasan ‘seni serat’ menjadi kabur bagi setiap seniman dan karyanya. Secara tradisional, istilah ‘seni’ merujuk pada segala jenis keahlian (skill), namun konsep tersebut sudah ditinggalkan. Seni tidak lagi dianggap sekedar kecakapan tangan saja, namun lebih merupakan hasil buah pemikiran yang mendalam dari manusia. Kemunculan istilah seni serat, ditujukan untuk mendeskripsikan objek-objek dekoratif dengan medium serat—yang lebih dari sekedar benda fungsional praktis. Dapat disimpulkan, bahwa karya seni serat adalah karya seni yang menggunakan medium serat untuk menyampaikan pesan, makna, emosi seniman, dan bukan sekedar pertimbangan estetis serta fungsional suatu material saja. Tantangannya muncul ketika pembacaan karya berhenti pada penjelasan pemilihan dan pengolahan medium saja. Apakah masyarakat akan dibuat berhenti pada kekaguman olahan ‘akrobatik’ suatu medium semata? Atau justru seniman berhasil bertransformasi, menjadikan karyanya sebuah pembacaan lanjutan? Maradita Sutantio Bandung, Januari 2011 Seniman muda yang ikut pelatihan kurasi Fiber Face 3

Share this post


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *